Tuesday 15 November 2016

Kedudukan Bank Syariah dalam Sistem Perbankan Nasional

Sejarah Berdirinya Bank Syariah Indonesia
Ide awal tentang perlunya suatu lembaga keuangan perbankan berbasis Islam di Indonesia muncul dengan adanya pendapat K.H. Mas Mansur, ketua pengurus besar Muhammadiyah periode 1937-1944 dimana beliau telah menguraikan tentang penggunaan bank konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba.
Pada organisasi Muhammadiyah, hal ini dilanjutkan dengan diadakannya muktamar khusus di Sidoarjo pada 1968, yang membahas salah satu diantaranya tentang hukum Bank. Dalam sidang majelis tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo ditegaskan, bahwa:
Riba hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an dan Sunnah.
Bank dengan sistim riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya dikategorikan sebagai mutasyabihat.
Menyarankan kepada PP muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsep sistem ekonomi terutama lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Sementara organisasi Nahdatul Ulama (NU) merumuskan masalah riba dan bunga bank ini melalui beberapa persidangan. Pada muktamar NU ke-12 yang dilaksanakan di Malang pada tanggal 25 Maret 1937 ditetapkan, bahwa hukum menempatkan uang di bank demi keamanan dan tidak yakin bahwa uangnya digunakan untuk larangan agama, yakni makruh. Adapun hukum bank dan bunganya itu sendiri dipersamakan dengan gadai yang ditetapkan pada muktamar NU ke-2 yang dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 19 Okober 1927.
Pada munas alim ulama dan Kombes pada 1982 di Bandar Lampung, pada tubuh NU masih terjadi silang pendapat dan belum ada satu kata berkaitan dengan bunga bank, tetapi munas mengamanatkan berdirinya bank Islam dengan sistem tanpa bunga. Beberapa perbedaan pendapat itu dintaanya :
Ada pihak yang berpendapat bahwa bunga bank riba secara mutlak dan hukumnya haram. Ada juga yang berpendapat bahwa bunga bank belum tentu sama dengan riba, sehingga hukumnya mubah.
Berkaitan dengan dibedakannya bunga menjadi bunga konsumtif dan juga bunga produktif. Bunga yang dikategorikan konsumtif yakni haram, dan bunga yang dikategorikan roduktif hukumnya halal. Adapun bunga bank yang diperoleh dari tabungan, giro, dan deposito yakni halal.
Bank syariah di Indonesia lahir sejak 1992. Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muammalat Indonesia. Pada tahun 1992 hingga 1999, perkembangan Bank Muammalat Indonesia, masih tergolong stagnan. Namun sejak adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997 dan 1998, maka para bankir melihat bahwa Bank Muammalat Indonesia (BMI) tidak terlalu terkena dampak krisis moneter. Para bankir berfikir bahwa BMI , satu-satunya bank syariah di Indonesia, tahan terhadap krisis moneter. Pada 1999, berdirilah Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti. Bank Susila Bakti merupakan bank konvensional yang dibeli oleh Bank Dagang Negara, kemudian dikonversi menjadi Bank Syariah Mandiri, bank syariah kedua di Indonesia.
Pendirian Bank Syariah Mandiri (BSM) menjadi pertaruhan bagi bankir syariah. Bila BSM berhasil, maka bank syariah di Indonesia dapat berkembang. Sebaliknya, bila BSM gagal, maka besar kemungkinan bank syariah di Indonesia akan gagal. Hal ini disebabkan karena BSM merupakan Bank Syariah yang didirikan oleh Bank BUMN milik pemerintah. Ternyata BSM dengan cepat mengalami perkembangan. Pendirian BSM diikuti oleh pendirian beberapa bank syariah atau unit usaha syariah lainnya.
Bank syariah memiliki sistem operasional yang berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Dalam sistem operasional bank syariah, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Bank syariah tidak mengenal sistem bunga, baik bunga yang diperoleh dari nasabah yang meminjam uang atau bunga yang dibayar kepada penyimpan dana di bank syariah.
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah memiliki fungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi dari pihak pemilik dana. Fungsi lainnya ialah menyalurkan dana kepada pihak lain yang membutuhkan dana dalam bentuk jual beli maupun kerja sama usaha.
Bank syariah sebagai lembaga intermediasi antar pihak investor yang menginvestasikan dananya di bank kemudian selanjutnya bank syariah menyalurkan dananya kepada pihak lain yang membutuhkan dana. Investor yang menempatkan dananya akan mendapatkan imbalan dari bank dalam bentuk bagi hasil atau bentuk lainnya yang disahkan dalam syariah Islam. Bank syariah menyalurkan dananya kepada pihak yang membutuhkan pada umumnya dalam akad jual beli dan kerja sama usaha. Imbalan yang didapatkan dalam margin keuntungan, bentuk bagi hasil, dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan syariah Islam.
Bank syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan yang diterima bank syariah maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian antara nasabah dan bank. Perjanjian (akd) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariah Islam.
Undang-undang perbankan syariah no. 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang berdiri sendiri sesuai dengan akta pendiriannya, bukan merupakan bagian dari bank konvensional. Beberapa contoh bank umum syariah antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank Muammalat Indonesia, Bank Syariah Mega, Bank Syariah Bukopin, Bank BCA Syariah, dan Bank BRI Syariah.
Unit usaha syariah merupakan unit usaha syariah yang masih di bawah pengelolaan bank konvensional. Unit usaha syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Contoh unit usaha syariah antara lain BNI Syariah, Bank Permata Syariah, BII Syariah, dan Bank Danamon Syariah.

Dasar Hukum Perbankan Syariah Indonesia
Setelah berlakunya Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, akhirnya pada tanggal 16 Juli 2008 diundangkan lah Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan Syariah atau UUPS). Konseptor awal RUU dari undang-undang tersebut adalah kantor konsultan hukum yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. atau Law Offices of Remy & Darus (sekarang berganti nama menjadi Law Offices of Remy & Partners). Pada saat itu, Bank Indonesia menugasi kantor konsultan hukum tersebut baik untuk membuat Naskah Akademik maupun untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut. Undang-undang inilah yang kemudian menjadi dasar hukum utama bagi pendirian dan kegiatan usaha bank syariah di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah tidak berarti segala ketentuan mengenai perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telh diubah oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan segalam Peraturan Bank Indonesia yang menyangkut perbankan syariah menjadi tidak berlaku lagi. Segala ketentuan yang menyangkut perbankan syariah tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur lain oleh Undang-Undang Perbankan Syariah atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Bank Indonesia yang baru.



Kedudukan Bank Syariah dalam Sistem Perbankan Nasional
Sistem Perbankan Indonesia
Sistem perbankan merupakan suatu tatanan yang didalamnya terdapat berbagai unsur mengenai bank, baik menyangkut kelembagaannya, kegiatan usahanya dengan mengikut suatu aturan tertentu. Dapat diungkap bahwa, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sisitem perbankan terdiri dari:
Bank Indonesia
Bank Umum Pemerintah
Bank Umum Swasta Nasional
Bank Asing dan Bank Campuran
Bank Pembangunan pemerintah
Bank Pembangunan pemerintah
Bank Pembangunan Swasta
Bank Tabungan Pemerintah
Bank Tabungan Swasta
Kelompok Bank Perkreditan Rakyat
Sesudah diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1997 tentang Perbankan yang telah disempurnakan dengan undang-undang nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, system perbankan di Indonesia menjadi:
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Bank-bank Umum, yang dibedakan menjadi dua yakni Bank umum devisa dan Bank umum nondevisa
Bank Perkreditan Rakyat dan kelompok Bank Perkreditan Rakyat

Selain itu, sistem perbankan di Indonesia juga bisa kita simpulkan setelah melihat pada UU Perbankan yaitu perbankan yang beropersi dengan prinsip konvensional dan perbankan yang beroperasi pada prinsip syariah.

Bank Syariah sebagai Bagian Integral Perbankan Nasional
Seperti yang telah disebutkan di atas tentang keleluasaan perbankan dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat bebas memilih prinsip yang akan digunakannya, baik konvensional maupun syariah. Akan tetapi, ada perbedaan hak antara Bank Umum dan Bank Perkreditan dimana Bank Umum dapat beroperasi dengan dua prinsip secara bersamaan maupun secara terpisah, tapi Bank Perkreditan Rakyat hanya boleh memilih satu diantara dua pilihan itu yakni konvensional atau syariah.

Peraturan Bank Syariah dalam Undang-Undang Perbankan
Pengaturan mengenai Bank Syariah dalam UU Perbankan telah disebutkan, tidak hanya menyangkut eksistensi dan legitimasi Bank Syariah dalam sistem perbankan nasional, tapi juga meliputi aspek kelembagaan dan sistem operasional perbankan syariah itu sendiri.
Dalam peraturan tersebut, telah diatur hal-hal yang terkait dengan syarat-syarat pendirian bank syariah, kepengurusan, bentuk hukum bank syariah, aturan mengenai konversi bank konvensional menjadi bank syariah, mengenai perbankan kantor cabang, kegiatan usaha dan produk-produk yang dapat dilakukan, keberadaan dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan hubungannya dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), mengenai pengawasan oleh Bank Indonesia, sampai pada sanksi-sanksi pidana maupun administratif yang dapat dikenakan.

posted from Bloggeroid

No comments:

Post a Comment